[Resensi] Suka Duka Menjadi Anak Kos

Suka Duka Menjadi Anak Kos

Judul Buku: Curcol Anak Kos
Penulis: Fahrudin Ghozy dan teman-teman @temupenulis
Penerbit: Divapress
Cetakan: Pertama, November 2019
Isi: viii + 192 halaman
ISBN : 978-602-391-821-8
Mendengar istilah ‘Anak Kos’, biasanya langsung terbayang pada para mahasiswa baru, karyawan, atau pun pasangan suami istri baru yang harus hidup merantau dan menyewa sebuah kamar sebagai tempat tinggal sementara.
Menjadi anak kos berarti, menjadikan seseorang harus terbiasa melakukan sendiri. Meski awalnya bisa membuat seseorang menjadi tergagap-gagap, dan merasa hidupnya sangat nelangsa, tapi ada nilai positf yang bisa diambil selama menjalani nasib sebagai anak kos. Nilai yang bisa diambil adalah, mengatur keuangan dalam mengelola jatah bulanan, melatih kemandirian dan kemampuan untuk beradaptasi dengan suasana baru.
Menjadi anak kos berarti harus menerima kenyataan, jika akan sangat jarang menemukan masakan buatan ibu. Demikian pula yang dirasakan Dian Farida. Ketika ia menjadi pasangan suami istri yang baru, dan harus ikut suami tinggal di Jakarta.
Karena tak bisa mudik untuk merayakan Idul Adha, Dian merasakan kecamuk batin yang hebat. Terlebih, ini pertama kalinya Dian merayakan lebaran jauh dari keluarga. Seketika, ia pun merindukan rumah dan masakan ibunya. Namun, betapa terkejutnya Dian, ketika ibu kosnya bertamu dan memberi sepiring lontong opor. Sambil terisak, Dian menyantap lontong opor itu untuk mengobati kerinduan pada masakan ibu dan kampung halaman (hal 17-18).
Sebuah lingkungan yang nyaman, bisa menjadi alasan seseorang untuk kembali lagi. Demikian pula yang dialami Evy ketika harus kuliah lagi di Yogyakarta. Sebelumnya Evy pernah menjadi anak kos di daerah Sagan, dekat dengan kampusnya ketika harus menimba ilmu di Fakutas Psikologi UGM. Namun, ketika ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Extension English, Universitas Sanata Darma, Evy pun tetap melabuhkan hatinya kembali ke Sagan.
Jarak yang sedikit jauh tidak menjadi alasan bagi Evy. Penyebabnya tak lain karena ia telah nyaman dengan suasana di Sagan. Bedanya, kali ini Evy memilih kos yang sederhana. Hingga suatu malam, Evy terkejut ketika mendapati air telah menggenangi kamar. Ia kebanjiran! Dalam keadaan panik dan masih setengah sadar, Evy membangunkan teman-temannya. Mereka menghabiskan malam dengan menyelamatkan barang-barang dari genangan banjir.
Tanpa menduga sebelumnya, kabar kabanjiran itu tersiar cepat. Saat kultum solat Subuh, imam di masjid mengajak warga untuk menolong yang mengalami kebanjiran, termasuk Evy dan teman-teman. Sebuah pertolongan, persaudaraan, persahabatan, kekeluargaan yang tak ternilai harganya (hal 89-91).
Bila ingin tahu seperti apa rasanya menjadi anak kos di luar negeri, bisa mengintip kisahnya Yulia ketika tinggal di Hannover, Jerman. Meski  menempati ruangan berukuran 25 meter, dan terbagi dalam beberapa kamar, Yulia tetap merasakan bagaimana harus beradaptasi dengan kebiasan tetangga kamarnya. Belum lagi kendala lain, seperti masih terbatasnya bahasa Jerman yang dikuasai, atau tak bisa mudik secepatnya saat merindukan kampung halaman (hal 134-138).
Meski kali ini kos-kosan ekslusif kian  menjamur, namun pengalaman menjadi anak kos akan selalu berkesan. Buku berisi 15 kisah menjadi anak kos ini bisa menjadi bacaan bagi yang ingin bernostalgia tentang suka dukanya menjadi anak kos. Bisa juga menjadi referensi bagi yang ingin menetap sementara di kota atau negara lain. []
~~
Resensi ini dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi 23 November 2019. Kali ini kena gunting editor, satu paragraf. Ah, seharusnya saya lebih memperhatikan space yang dimiliki oleh KR untuk resensi.

               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Pertama di Perada Koran Jakarta

Yulia Hartoyo, Meracik Jamu Karena Rindu

Gado-gado Femina edisi 19, 7-13 Mei 2016