Resensi Pertama di Perada Koran Jakarta

Ngirim resensi ke Koran Jakarta? Aduh!!! Bisa enggak ya? Berani enggak ya? Itulah pertanyaan yang sempat menghantui saya.

Menulis resensi adalah hal baru bagi saya. Dulu, setiap kali baca buku, selesai, paham isinya, terus ceritain ke temen. Hanya seperti itu, dan selalu seperti itu. Hingga teman-teman di facebook memosting keberhasilan mereka menembus resensi di berbagai koran, salah satunya  Kojak (Koran Jakarta).

Saya mencari tahu makna resensi, bagaimana meresensi, hal-hal apasaja yang boleh dan tidak boleh dituliskan, hingga syarat-syarat teknisnya.

Setelah berlatih meresensi satu buku lawas karya Bang Iwok Abqary, dan diposting di blog beberapa waktu lalu, saya memutuskan meresensi buku baru, dan mengirimkan ke media. Pilihan jatuh ke Kojak.

Bila ditanya, mengapa memilih mengirimkan resensi ke Kojak? Salah satu alasannya, karena web Kojak bisa diakses setiap hari. Sehingga bisa dipelajari seperti apa keinginan Redakturnya.

Hari Minggu, tanggal 29 Januari lalu, saya ke Perpustakaan Kota Yogyakarta. Niatnya sih mau ngirim resensi pake fasilitas wi-fi gratis yang memang disediakan pihak Perpustakaan. Tapi, saya malah asyik men-download file-file lain hingga sore hari 😃 Lalu tiba-tiba, saat sore hari, netbook memperingatkan bahwa baterai kurang dari 11%! Aduh! Resensi belum dikirim!

Alhasil, Minggu sore itu saya berdebar-debar. Mengetik email, dan melampirkan semua syarat-syaratnya, selain naskah tentunya, sembari berpacu dengan baterai yang terus melemah! Selesai mengetik email, saya periksa lagi semua lampiran. Lalu klik! Kirim. Pulang.

Rabu, 1 Februari, setelah gajian, dan memiliki kuota internet, saya membuka web Kojak. Lho, kok Resensiku udah nampil tanggal 31 Januari? Kaget, seneng, nggak percaya, pingin joged-joged, semua jadi satu. Noraklah pokoknya 😃.

Saya segera memosting ke facebook. Karena saya meresensi buku milik Mbak Utami Panca Dewi, dan kami juga berteman di facebook, sayapun men-tagnya. Beberapa hari setelahnya, barulah saya membuka email. Mengecek email masuk. Tanpa dinyana, hari Minggu itu, setelah saya mengirim naskah, saya mendapat beberapa email dari Redaktur Perada -resensi buku di Kojak-. Isinya berupa beberapa pertanyaan berkaitan naskah yang saya kirim! Huaaa! Kenapa saya baru tahu? Kenapa hari Minggu itu saya langsung cabut dari Perpus? Kenapa, dan kenapa yang lain terus menghakimi saya. Bagaimana tidak. Saat Redaktur merelakan hari liburnya untuk tetap mengurusi naskah yang masuk, dan menyeleksinya hingga layak saji di Kojak, saya malah tidak membuka email! Apa ini nggak bikin geregetan redaktur? Semoga ke depannya saya tidak diberi stempel khusus oleh Redakturnya.

Dalam penayangan di Kojak, naskah ini diedit di beberapa bagian. Judulnya tidak diubah, tapi ditambahi. Paragraf pertama dan terakhir dipangkas abis. Ini mirip naskah "Gado-gado" di Femina, bulan Mei tahun lalu, yang dipangkas di awal dan akhir. Penulisan yang menggunakan kosakata dari bahasa asing ternyata tetap ditulis biasa. Tidak Italic seperti di femina. Lagi-lagi ini menyadarkan jika tiap media punya karakteristik yang berbeda. Untuk versi Kojak, bisa dibaca di:www.koran-jakarta.com/berdamai-dengan-masa-lalu-demi-hari-depan/


Berikut naskah asli saya:

BERDAMAI DENGAN MASA LALU

Judul: Serpihan Masa Lalu
Penulis: Utami Panca Dewi
Penerbit: Nuansa
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 155 halaman
ISBN: 978-602-73112-7-5

Cita-cita tak hanya milik remaja, namun juga orangtua. Meski telah memiliki pekerjaan, dan kehidupan, orangtua masih memiliki mimpi. Apalagi jika bukan tentang masa depan anak-anaknya. Orangtua akan mengerahkan apasaja agar anak-anaknya hidup sejahtera di kemudian hari. Sedang di sisi lain, anak memiliki keinginan sendiri.

Sejak kepergian mamanya, Dara selalu murung. Hal itu membuat dokter Farid, ayahnya, prihatin. Dokter Farid berinisiatif mengajak Dara mengunjungi Rumah Singgah Bina Insani, sebuah rumah singgah sekaligus Panti Asuhan bagi anak-anak yang kurang beruntung, milik Bu Respati. Dokter Farid ingin Dara memiliki keceriaan kembali.

Setelah beramah tamah memperkenalkan diri, dan masuk kelas, banyak anak-anak meinta Dara menjelaskan tentang cara penyelesaian soal-soal IPA. Dara yang merupakan siswi paling cerdas di kelas XI IPA 2, mampu menjelaskan soal-soal tersebut secara mudah.

Melihat itu, Bu Respati meminta Dara menjadi guru IPA bagi mereka. Karena kebetulan Rumah Singgah itu belum memiliki seorang guru IPA. Dara setuju. Maka, setiap Jumat sore, Dara memberikan pelajaran IPA pada anak-anak.

Beberapa bulan mengajar di Rumah Singgah, menyadarkan Dara akan passion-nya. Dara ingin menjadi guru. Dara menikmati momen saat berada di tengah anak-anak, menjelaskan hal yang belum mereka pahami. Menemukan kepuasan ketika muridnya bisa memahami apa-apa yang dia jelaskan.
Cita-cita Dara bertolak belakang dengan keinginan dokter Farid. Sebagai seorang dokter yang memiliki klinik bersalin, dokter Farid ingin Dara menjadi dokter seperti dirinya, agar dapat menggantikan mengelola klinik tersebut. (Hal:24)

Tak hanya dokter Farid yang tercengang dengan keinginan Dara. Begitu pula Ruben, kakak kelasnya yang diam-diam menyukainya. Dara bersikeras dengan keinginannya. Baginya, setiap anak berhak menjadi apapun seperti yang diinginkan, tak harus meniru jejak orangtuanya. (Hal: 28-29)

Meski Dara menyukai Ruben, Dara memilih mengubur perasaannya. Ada dua alasan bagi Dara untuk menjauhi Ruben. Alasan pertama: Mela, sepupu Dara, juga menyukai Ruben. Karena orangtua Mela baru saja bercerai, Mela harus pindah tempat tinggal, dan sekolah. Ditambah lagi Mela mengidap thallasemia. Dara tak ingin Mela bersedih. Jika bersama Ruben bisa membuat Mela bahagia, Dara rela mengesampingkan perasaannya.

Sedang alasan kedua: Dara juga tertarik pada Ale, seorang remaja seusianya yang menjadi penjaja koran di lampu merah. Adik Ale, Adelia, seorang anak berkebutuhan khusus, merupakan salah satu anak asuh di Rumah Singgah Bina Insani, tempat Dara mengajar. Setelah ayahnya  meninggal, Ale berjuang membesarkan adiknya, dan merelakan sekolahnya putus di tengah jalan. Bersama Ale, Dara bisa melupakan perasaannya pada Ruben.

Dokter Farid tidak setuju melihat kedekatan Dara denga Ale. Menurutnya, anak jalanan seperti Ale yang berambut gondrong, kumal, tidak tahu sopan santun, dan tak bisa berterima kasih, tidak layak dijadikan teman. Terlebih setelah Dara terlambat pulang karena berburu buku bersama Ale, makin beranglah dokter Farid.

Untuk menjauhkan Dara dari Ale, dokter Farid mengizinkan Dara mengambil Prodi Pendidikan Biologi di Yogya. Bagi Dara, tidak masalah dijauhkan dari Ale, selama papanya tidak melarang keinginannya menjadi guru.

Sebelum menjalani PPL, dokter Farid meminta Dara pulang sejenak ke Semarang. Saat pulang itulah, pertengkaran Dara dengan Tante Loly, adik almarhumah mamanya, terjadi. Tabir yang menguak masa lalu Dara. (Hal:91)

Dara yang terkejut dengan semua fakta yang diberikan Tante Loly, memilih kabur.
Dalam masa kabur, Dara justru diculik. Dia disekap dalam sebuah gudang tua. Sang Penculik menghubungi doter Farid untuk meminta tebusan.

Penculikan itu tak hanya mengejutkan dokter Farid. Begitu pula Dara. Dari penculikan itulah masa lalu tentangnya  terkuak kian jelas. (Hal:125)

Novel ini tak hanya sesuai untuk remaja, tapi juga bagi para orang tua. Sebuah bacaan tentang pentingnya mengejar cita-cita sesuai passion. Karena dari sana akan lahir sebuah totalitas dalam berkarya, totalitas yang tak menjadikan uang sebagai orientasi utama. [ ]


Komentar

  1. Alamat email pengiriman resensi Ke Kojaknya apa, Mbak? Terima kasih! :)

    BalasHapus
  2. Saya mengirimnya ke: opinikoranjakarta@yahoo.co.id

    BalasHapus
  3. ayo rame-rame nulis resensi buku di Peradai Koran Jakarta, setiap hari ada lho rubriknya. Ada honornya pula

    BalasHapus
  4. Kalau boleh tahu, honornya dibayar berapa lama sejak resensi dimuat? Satu bulankah? Trims.:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya.
      Tepat satu bulan setelah pemuatan.

      Hapus
    2. Huhu kok honor saya belum masuk, ya, padahal udah sebulan. Koran Jakarta mentransfernya dari rekening apa ya, Kak? Trims :)

      Hapus
    3. Kebetulan saya belum pake e-banking, masih konvensional, jadi tidak tahu rekening yang mereka pergunakan.

      Karena saya sudah lama belum kirim tulisan lagi ke sana, yang berarti belum ada pemuatan lagi, maka saya tidak tahu apakah ada perubahan kebijakan atau peraturan baru di sana.

      Semoga cepat selesai ya

      Hapus
  5. wah pengalaman yang menarik, kalau resensi kita diterima ada kebahagiaan sendiri ya :D

    BalasHapus
  6. Iya.
    Rasa yang nggak bisa dijabarkan 😀

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Bila berkenan, silakan tinggalkan jejak manisnya di sini.
Dilarang mengcopy isi blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare, cantumkan sumbernya. Terima kasih

















Terima kasih telah berkunjung.
Bila berkenan, silakan tinggalkan jejak komentar.
Dilarang melakukan copy paste. Bila ingin mengutip atau membagikan, mohon dicantumkan link blog ini.

























Postingan populer dari blog ini

Yulia Hartoyo, Meracik Jamu Karena Rindu

Gado-gado Femina edisi 19, 7-13 Mei 2016