Gado-gado Femina edisi 19, 7-13 Mei 2016

Gado-gado femina edisi 19, 7-13 Mei 2016

Setiap memegang majalah femina, yang biasanya saya cari pertama kali adalah rubrik: cerpen, cerber, dan gado-gado. Karena gado-gado merupakan salah satu rubrik favorit saya, maka tak heran jika saya berandai-andai: andai tulisan saya bisa mengisinya….

Pucuk dicinta, saya menemukan cara dan syarat pengiriman untuk artikel gado-gado. Dan akhirnya, mulailah saya memikirkan hal apa yang sekiranya bisa ditulis dan dikirim. Sesuatu yang unik, beda, tapi juga familiar. Jadilah saya tuliskan saat sedang liburan bersama teman-teman di akhir April 2015 lalu.

Setelah beberapa kali self editing, yang ternyata masih jauh dari kata bagus, akhirnya saya nekad mengirimkan artikel ini ke femina. Dan setelah benar-benar terkirim, saya akhirnya menyesal!


Mengapa?

Karena artikel saya bercerita jika saya menolak tawaran syuting. Saya takut dianggap tidak sejalan dengan femina.

Bagaimana tidak? Bukankah banyak orang ingin wajahnya bisa masuk tv? Ingin terkenal. Dan bukankah femina tiap tahun selalu menyelenggarakan acara pemilihan wajah femina, di mana di sana banyak dilahirkan banyak wanita cerdas dan cantik? Dan artikel saya, bukankah itu seperti tamparan yang bisa dianggap tak sejalan dengan kebiasaan? Saya rasa, artikel saya langsung masuk tempat sampah tanpa dilirik sedikitpun.

Meski menyesal, saya tak berniat untuk menariknya. Saya melupakannya.

Hari Minggu terakhir di bulan Maret, saya berniat menghapus file-file sampah –tulisan-tulisan gagal dan buruk- dari folder. Dan saat itu saya urung menghapus salah satu file. Hati saya mengatakan jika ini harus diamankan, bukan dihapus. Dan ternyata, di hari Senin siang keesokan harinya, ada sms dari mbak Ratna yang menanyakan orisinalitas tulisan untuk gado-gado.

Saya terkejut!! Tadinya saya pikir ada teman yang iseng ngerjain. Tapi, karena tak seorang pun tahu tentang pengiriman itu, akhirnya saya percaya jika mbak Ratna betul-betul orang femina. (Jadi, tulisan saya enggak masuk tempat sampah? Jadi tulisan saya dibaca? Rasanya kok malah lemes :D )

Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya tulisan itu dimuat juga. Dan berikut adalah versi aslinya, karena dalam pemuatan ada beberapa hal yang diedit, termasuk judul.

MENOLAK TAWARAN SYUTING 

“Masa sih nggak ingin terkenal? Di luar sana, berapa banyak orang yang ingin wajahnya bisa masuk tv? Aku yakin, kalian dulu pasti pernah bermimpi jadi model,” dia terus membujuk.

Kami berpandangan dengan kening mengernyit. Aku dan kedua temanku, -Yuni dan Mae- bersamaan menggeleng. Tawaran syuting kami tolak. Bukannya sombong, tapi kami sedang liburan dan ada target yang telah dirancang sebelumnya yang harus tercapai.

Seperti tahun sebelumnya, di bulan April Yuni mengajakku untuk menyusuri pantai selatan di Gunungkidul. “Melengkapi yang terlewat tahun kemarin,” katanya.

Aku setuju. Menarik diri sejenak dari rutinitas pekerjaan memang sangat dibutuhkan. Dan sebulan sebelum trip dimulai, kami sudah menyepakati target-target yang harus tercapai. Memaksimalkan cuti empat hari.

Menyusuri pantai selatan melalui jalur darat, bukan pilihan menarik bagi sebagian wanita. Karena untuk bisa mencapainya tidak cukup melalui bibir pantai saja, tapi harus rela memutari punggung bukit, melalui ladang yang jarang dilalui orang, hingga naik turun tebing. Harus begitu. Karena saat pasang, ombak besar tanpa ampun menghajar tepian dan tak ada alternatif lain untuk melanjutkan perjalanan.

Kami bertiga, semuanya wanita. Masing-masing membawa peralatan dan perlengkapan hidup selama trip dalam carrier dan daypack. Semangat Kartini di bulan Kartini mungkin menyusup perlahan mengiringi perjalanan ini. Kebetulan kami memang dikenalkan dan disatukan melalui hobby yang sama, melakukan kegiatan di alam terbuka.

Hari pertama dilalui tanpa kendala. Kami hanya dapat satu pantai. Tapi itu sudah cukup. Karena kedua temanku perlu sedikit waktu istirahat usai perjalanan dari Jakarta. Kami memilih menggunakan transportasi umum untuk mencapai starting point.

Suasana berangsur sepi saat kami menuruni jalanan yang curam. Sesi foto-foto untuk dokumentasi narsis belum sepenuhnya dimulai. Tapi,tiba-tiba…

“Mbak, boleh foto bareng?” Seorang lelaki muda menghampiri dan meminta foto bersama.

Foto bareng? Kan, kami bukan artis, kenal pun tidak. Tapi kami memenuhi keinginannya mengabadikan kebersamaan sekilas.

“Nanti ku-upload di Instagram. Difollow, ya,” pamitnya usai ‘pemotretan’.

Kami mengangguk, padahal tak satupun diantara kami yang memiliki akun Instagram. Kami geleng-geleng melihatnya yang seakan baru saja bertemu idola!

Hari kedua dimulai. Ini penentu menuju titik-titik target berikutnya. Pantai terdekat yang kami tuju adalah pantai dengan air terjun di bibirnya. Kami sedikit kesulitan mencari jalur terdekat. Kami ‘meraba-raba’ jalan.

Saat sampai dan masih asyik bergantian berpose di depan kamera, seseorang menghampiri. Kami tidak heran melihat sosoknya, karena saat masih di atas bukit, terlihat beberapa orang tengah berkegiatan di kejauhan. Bukit di seberang. Dan dia salah satu dari mereka,terlihat dari seragamnya. 

Dia menanyakan siapa, dari mana dan apa yang kami lakukan.

Kami beberkan jawaban tanpa sungkan.

Akhirnya dia berkata, “Saya dan teman-teman tengah melakukan kegiatan di pantai ini. Kebetulan acaranya diliput oleh tv swasta nasional,” tangannya menunjuk pada tim dengan seragam PDL. “Jenisnya olah raga ekstrim. Kami berkeinginan Mbak-Mbak semua untuk ikut syuting.”

Syuting? Aku dan teman-teman saling pandang. “Detailnya seperti apa?”

“Kita akan memasang tali menghubungkan dua sisi tebing. Lalu kita harus berjuang, bergelantungan dari tebing satu ke tebing berikutnya. Sendiri.”

Kami mengangguk-angguk. Menarik, itu yang sempat terlintas dipikiranku. Tapi target kami? Alarm seakan berteriak.

“Mungkin sampai tengah hari.” Dia seakan bisa membaca pikiran kami.

Kami saling pandang lagi dan melakukan diskusi terbuka di depannya. Setting peralatan nggak mungkin sebentar. Terus, saat syuting, nggak mungkin hanya sekali take. Akan ada berkali-kali take untuk sebuah scene atau adegan. Dan kami bukan model atau pemeran yang terbiasa dengan kegiatan seperti ini. Waktu bisa jadi melar dari perkiraan. Kami menolak.

Dia terus berjuang ‘mendapatkan’ kami, pemeran wanita untuk kegiatan ekstrim. Rayuan kesempatan menjadi terkenal tak mengubah keputusan kami. Masih ada target yang harus dicapai. Kuminta pengertiannya sebagai sesama penggiat olah raga di alam terbuka. Dia mengangguk. Tatapannya kecewa.

“Kami minta maaf tidak bisa membantu Mas dan teman-teman yang lain. Mudah-mudahan nanti mendapatkan pengganti seperti yang dibutuhkan.”

Setelah berpamitan dengannya, kami harus melintasi tim -yang tadi menunggu hasil ‘rayuan’- dan sedikit merminta maaf pada mereka. Baru saja melangkah, salah satu dari mereka berteriak, “Mbak,foto bareng!”

 Hah?! Foto bareng? Seperti kemarin?! Aku nyengir dalam hati, kenapa trip kali ini lebih seperti menjadi artis dadakan yang dimintain foto bareng ya?

Kami memang tak seperti orang kebanyakan yang ingin terkenal atau sekedar masuk tv. Tiap orang punya prioritas, pilihan, dan pertimbangan dalam hidupnya. Dan kami lebih nyaman dengan apa yang kami lakukan, liburan untuk me-recharge semangat saat kembali dalam rutinitas.

@@

Komentar

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Bila berkenan, silakan tinggalkan jejak manisnya di sini.
Dilarang mengcopy isi blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare, cantumkan sumbernya. Terima kasih

















Terima kasih telah berkunjung.
Bila berkenan, silakan tinggalkan jejak komentar.
Dilarang melakukan copy paste. Bila ingin mengutip atau membagikan, mohon dicantumkan link blog ini.

























Postingan populer dari blog ini

Resensi Pertama di Perada Koran Jakarta

Yulia Hartoyo, Meracik Jamu Karena Rindu