[Resensi] Menghirup Legenda dalam Sejarah

      Menghirup Legenda  dalam Sejarah
      Judul : Hari Anjing-anjing Menghilang
      Penulis : Umar Affiq dkk
      Cetakan : Pertama, Mei 2017
      Penerbit : Diva Press
      Tebal : 312 halaman
      ISBN : 978-602-391-406-7
      Nyo lahir dan besar di kota Lasem. Setelah Mamanya pulang kampung, Nyo tinggal bersama Papanya, Sumini -pengasuhnya sejak bayi-, dan kedua anjingnya, Jo dan Wang. Sejak itu pula hari-hari Nyo dipenuhi beragam cerita dari Sumini, tentang legenda kota Lasem, laksmana dan pelaut dari bangsa yang berkulit seperti Nyo, kisah tentang leluhurnya, hingga legenda-legenda dari tanah leluhurnya.
      Nyo tak pernah jenuh dengan cerita-cerita Sumini. Terlebih cerita tentang Dampo Awang dan Bong-Ang, pertengkaran dan perkelahian saudara sebangsa. Setiap kali Sumini menamatkan cerita itu, Nyo selalu menanyakan perihal mengapa mereka berseteru. Pertanyaan itu tak pernah terjawab hingga Nyo  remaja (hal 259-260).
      Hingga suatu hari, di pertengahan bulan Mei, Nyo seakan bisa menghirup secara nyata legenda Dampo Awang dan Bong-Ang, ketika rumahnya didatangi 5 orang pria tak dikenal (hal 266). Apa yang terjadi dengan Nyo dan keluarganya? Siapa orang-orang itu? Kemanakah Papanya Nyo? Apakah anjing-anjing Nyo tidak melindungi tuannya? Kisah itu bisa dibaca dalam cerpen Hari Anjing-anjing Menghilang, karya Umar Affiq.
      Buku ini berisi 16 cerpen karya Kampus Fiksi dengan tema peristiwa Tragedi Mei 1998. Meski memuat kisah-kisah fiktif, buku ini mengajak pembacanya kembali menghirup, melihat, merasakan, mendengar dan seakan menjadi bagian dalam peristiwa 1998, sebuah peristiwa yang pernah nyata terjadi di negeri ini.
      Peristiwa pemerkosaan dan penjarahan didedah dari sudut pandang pelaku dan korban. Bayangan dosa selalu menghantui pelaku, menyiksa sepanjang hidup, sebagaimana dalam Mimpi Lelaki Tua karya Mas Agus. Sedang bagi korban, trauma berkepanjangan yang tak pernah hilang, dan harus menanggung sanksi sosial, karena dicibir masyarakat seperti dalam Bunga Ngarot yang Menjadi Layu karya Frida Kurniawati. Ditambah karya dari cerpenis lainnya seperti Reni FZ dalam Sepasang Serasah Cokelat, Majenis Pagar Besi dalam Peluru di Rumah Itu, Yenita Anggraini dalam Napak Tilas, dan karya-karya lain, akan menghentak kesadaran kita, bahwa peristiwa itu cukup sekali saja terjadi dalam sejarah. []
   
Terbit di Kedaulatan Rakyat, 18 Juli 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Pertama di Perada Koran Jakarta

Yulia Hartoyo, Meracik Jamu Karena Rindu

Gado-gado Femina edisi 19, 7-13 Mei 2016